Selasa, 10 Februari 2009

Bajaj Pak Umar

(www.prayoga.net)

Suasana Terminal Blok-M seperti biasanya,ramai dan berdebu.Aku turun dengan tergesa karena metro mini yang Aku tumpangi sudah mulai mengambil penumpang. Kardus besar yang kupegang membuatku susah untuk berjalan di kerumunan orang. Kuputuskan untuk mencari bajaj. Sebenarnya di masa krisis seperti ini, naik bajaj adalah kemewahan bagiku. Namun tak apalah, daripada kardus yang berisi mainan edukatif bikinan istriku hancur tak berbentuk.

Terselp juga sedikit penyesalan di hatiku. Mengapa aku tak ikut kompromi papa yang menawarkan aku mobil dan uang saku tambahan. "Ryan, kau boleh pakai kijang yang ada di rumah, kalau kau mau." Tawar papa ketika aku bilang aku ingin mencoba hidup mandiri dengan Lisna istriku. Aku menolak waktu itu, dengan alasan gajiku sebagai pegawai negeri tak cukup untuk beli bensin.

"Kalu uang bensin, kan papa bisa kasih." Aku berterima kasih pada papa atas perhatian dan niat untuk menolongku, tapi aku laki-laki. Masa bermanja dan bergantung sekaligus menyusahkan orang tua sudah "kenyang" aku nikmati semasa SMA. Kini, saat aku sudah beristri, dan bekerja walaupun dengan penghasilan yang sekedarnya, aku tak mau lagi merepotkan lagi orang tuaku yang sudah mulai menua, walaupun mereka mampu untuk itu.

Lamunanku terhenti ketika aku sampai di jajaran bajaj yang menunggu penumpang diantara warung jajanan. Suara bising mesin bajaj yang akan berangakat, tak menganggu beberapa supir bajaj yang sedang makan-makan di pinggiran selokan besar. Aku tersenyum melihat keacuhan mereka, yang tampak tetap menikmati makanan di sela-sela bau solar bajaj, selokan, debu dan derum bis-bis kota. Mungkin, itu salah satu cara mereka mensyukuri nikmat rizky yang Allah berikan kepada mereka.

Ku hampiri bajaj terdepan, seorang sopir bajaj berusia 60 an bergegas menghampiriku. Dari jauh, penampilannya tak pantas sebagai supir bajaj, bersih dan tampak berpendidikan. Ketika supir bajaj itu mendekat, aku terkesiap, rasanya aku mengenali wajah supir bajaj yang telah memasuki bajaj tersebut.

"Mau ke arah mana dik...?" Tanyanya sambil menstater bajaj. Aku yang sedang terbengong-bengong tersadarkan oleh pertanyaan itu, sekaligus memastikan, siapa sosok di depanku. Supir bajaj di depanku ini adalah Pak Umar! Guru Agamaku si SMA dulu. Memang dia tak mengenaliku, karena itu adalah 11 tahun lalu, tapi aku masih mengenalinya, karena ketika aku SMA aku banyak berurusan dengan Pak Umar ini akibat kenakalanku dan kejagoanku berkelahi dulu.

"Hmm... arah Cipulir Pak..." jawabku agak tergagap, karena aku tak mempercayai penglihatanku. Apakah benar ini Pak Umar...? Aku mengangguk saja ketika Pak Umar menyebutkan harga ongkos bajaj. Aku ingin bertanya, apakah benar ini guruku ketika di SMA dulu. Tapi tenggorokanku tercekat dengan keragu-raguan. Siapa tahu bukan Pak Umar. Kalau benar Pak Umar, apakah baik jika aku menyapanya disini? Jangan-jangan Pak Umar sendiri tak bertemu dengan bekas muridnya dalam keadaan seperti ini, menjadi supir bajaj! Selama di perjalanan aku asyik dengan pertarungan antara memastikan atau tidak, dan ketika itu kudengar pertanyaan :

"Pulang kerja, Dik?"

"Iya, Pak..." Mungkin ini kesempatan buat bertanya...

"Saat ini penumpang bajaj menurun, dik..." Katanya melanjutkan percakapan

"Yah, namanya juga sedang masa krisis, ya Pak. Sebisa mungkin menghemat." Jawabku

sambil memperhatikan wajah di depanku di kaca spion bajaj yang berdebu. Aku tak ragu lagi sekarang, benar dia Pak Umar!

"Sudah lama, jadi sopir bajaj, Pak ?" Tanyaku mencoba mengorek untuk mencapai kepastian.

"Sudah dik, 18 tahunan..." Jawabnya. Senyumnya terlihat di kaca spion.

"Tapi saya tak full narik bajaj. Biasanya hari Ahad saya full, tapi hari biasa cuma bisa sore-sore seperti ini."

"Oh, begitu...? Jadi cuma sambilan, Pak?" Tanyaku dengan suara setengah berteriak untuk mengalahkan derum bajaj.

"Iya, dik... Pekerjaan utama saya guru SMA, sekarang sih SMU, ya...?"

Aku mendapat kepastian sekarang. Benar, dia adalah Pak Umar. Jadi, Pak Umar sudah belasan tahun menyambi mengajar sambil menarik bajaj? Kutelan ludahku,teringat kenakalan-kenakalanku dan kekurang-ajaranku dalam bersikap pada sosok yang mulai menua yang membelakangiku. Apakah aku harus bilang kepadanya, bahwa aku adalah bekas muridnya, dan meminta maaf kepadanya atas segala kekuranganku dulu. Ku urungkan niat tersebut, biarlan, mungkin Pak Umar akan lebih enak bercerita tanpa tahu siapa yang diajak berbicara sekarang.

"Wah, sudah lama sekali ya, Pak? Mengapa supir bajaj yang dipilih, Pak? Kenapa tak menyambi di sekolah swasta misalnya?" Tanyaku penuh rasa ingin tahu.

Pak Umar tertawa. "Kalau harus mengajar lagi di sekolah lain, tanggung jawabnya berat, dik... Mengajar satu sekolah, dengan ratusan murid saja, tanggung jawab terhadap Allahnya besar sekali. Jadi rasanya tak layak kalau saya mengajar hanya semata-mata mencari uang. Kasihan murid-murid, dapat perhatiannya sebagai pengganti mencari uang. Kalau bajaj, kan tak harus memikirkan perkembangan murid, dik. Jadi secara moral buat saya lebih ringan. Apalagi dengan jadi supir bajaj, saya sering bertemu dengan murid-murid yang sudah "jadi". Bahagia rasanya, kalau mereka masih ingat bahwa saya adalah gurunya dulu. Tapi tahun depan saya ini pensiun, kok dik. Mungkin jika masih deberi kesempatan saya ingin mengajar di sekolah swasta. Menjadi guru itu menyenangkan dik, imbalannya banyak. Gaji dari sekolah dan gaji dari Allah karena memanfaatkan ilmu yang tidak putus. Uraiannya panjang. Aku terpesona dengan uraian sederhananya. Aku tak tahu, bahwa sosok Pak Umar yang dulu sering kusepelekan, ternyata mempunyai idealisme mulia sebagai seorang guru. Adzan Magrib dari corong menara Masjid dekat gang rumah mengingatkanku.

"Tolong belok ke kanan, Pak..."

Bajaj berhenti di mulut gang rumahku. Kusodorkan uang 10000-an pada Pak Umar. Wajah bersih itu terkejut, ketika kukatankan tak usah ada kembaliannya.

"Wah, si adik ini. Kan adik juga masih perlu bukan? Apalagi jaman krismon seperti sekarang..." Tolaknya halus sambil menyodorkan uang kembalian. Ah, Pak Umar, ini tak seberapa dibandingkan dengan nasihat-nasihat bapak ketika saya SMA dulu. Batinku dalam hati. Tapi aku memaksa, aku mengerti arti penolakan Pak Umar.

"Bajaj bisa saya parkir disini tidak ya, dik...?" Tanyanya tiba-tiba. "Sudah Magrib, ingin shalat di mesjid ini dulu."

Akupun mengangguk. Kebetulan, akupun ingin shalat Magrib sekalian.

Lepas berjamaah, tangan keriput disampingku, megusap mukanya. Wajahnya yang bersih tersenyum kepadaku. "Mari dik, saya pergi dulu. Assalamu'alaikum!" Dia bernjak

sambil menyalamiku. Aku mengangguk. Rasanya sudah terlambat untuk mengaku bahwa aku adalah muridnya dahulu.

Tapi sebelum bajaj itu berlalu, aku bertanya kepadanya.

"Pak, Kalau boleh tahu nama bapak siapa? Siapa tahu bisa jadi langganan?

"Saya? Saya Umar dik. Tapi murid-murid sering meledek saya dengan sebutan Umar Bakrie. Mungkin tokoh itu pas dengan nama saya, ya...?" senyumnya. Lalu Pak Umar mengangkat tangan kirinya melambai perlahan. Dan aku menatapi sosok bajaj itu sampai menghilang di kelokan jalan.

Tiba di rumah, seperti biasa, Lisna dan 2 orang anakku, Latifah dan Ahamd menyambutku dengan ramai. Latifah, 4 tahun mencium tanganku lantas menggandengku dengan manja. Kardus besar perlahan kuletakkan dekat kursi. Dan kusambut Ahmat anak laki-lakiku, 2 tahun, dalam gendongan.

"Ayo, Ifah, Ahmad, ayah lelah kan... Nanti saja mainnya setelah Ayah makan..."

Lisna melerai anak-anak yang bergelendotan manja padaku. Beginilah anak-anak setiap aku pulang. Bagiku mereka adalah pelipur lelah, penghibur dikala aku susah dan sedih. Sambil makan kuceritakan satu-satu kejadian yang kualami hari ini. Kuceritakan tentang permainan edukatif Lisna yang belum tuntas kutawarkan pada toko-toko buku. Lisna mengangguk megerti.

"Namanya juga usaha, Bang. Apaliga ini baru tahap pengenalan terhadap pentingnya permainan yang mendidik buat anak-anak. Insya Allah, makin banyak yang tertarik, jika orang tua diberi pengertian tentang tanggung jawab mereka sebagai sekolah pertama." Lisna terlihat optimis.

Ketika Lisna menyebut kata sekolah, aku langsung teringat pertemuanku yang tak kusangka dengan Pak Umar tadi. Tanpa ada yang tersisa, kuceritakan semua pada Lisna.

"Pak Umar yang sering Abang ceritakan itu...? Yang pernah Abang "kerjain" dengan memasukkan lem ke tas kerjanya...?"

Aku mengangguk dengan segunung penyesalan. Keisenganku pada Pak Umar, hanya dikarenakan dia adalah guru yang paling rajin menasihatiku ketika aku selesai berkelahi dengan beberapa siswa SMA tetangga hanya karena masalah sepele.

"Maaf, Bang. Bukan bermaksud bikin Abang merasa bersalah." Lisna seperti memahami persaanku. "Abangkan sudah berubah sekarang."

Aku mengangguk, aku megerti maksud Lisna. Tapi ingatanku akan kenakalan dan kekurangajaranku pada Pak Umar, tak mudah dilepaskan begitu saja. Kini ketika hidayah Islam dilimpahkan Allah pada kehidupanku, ketika aku merasakan bahwa Islam yang kupeluk sejak lahir ternyata memberiku kedamaian dan ketengan jiwa yang tak kurasakan dulu, membukakan mata hatiku. Betapa berharganya nasihat-nasihat Pak Umar di ruangan bimbingan dulu. Betapa malunya aku karena aku membayar nasihat-nasihat beliau dengan kekurangajaranku. Ketika aku habis "berkelahi" dari medan pertempuran dengan beberapa luka di seluruh tubuh. Sementara guru-guru yang lain telah bosan berurusan dengan ku, hanya Pak Umar yang rajin menemuiku sambil bertanya, "Belum bosan kau berkelahi, Ryan...?"

"Tak kasihan pada orang tuamu, apalagi ibumu, yang selalu menangis khawatir melihat keadaanmu yang seperti ini setiap habis berkelahi...?"

"Tak kasihan pada orang tuamu, ayahmu, yang selalu harus menanggung kerugian karena mobil yang dibeli dari hasil jerih payahnya, hancur di medan perkelahian...?"

"Tahukan, kau Ryan, bahwa banyak orang yang tak punya rizki sepertimu...? Muda, punya orang tua yang bisa mencukupi kebutuhanmu, tanpa terasa air mataku meleleh mengingat nasihat-nasihat Pak Umar. Apalagi, aku menyaksikan sisi lain dari kehidupan Pak Umar. Bahwa untuk mencukupi kebutuhan hidupnya dan anak-anaknya, dia harus menarik bajaj. Dan itu dilakukannya dengan ikhlas, tanpa merasa rendah padahal dia adalah seoran guru yang pantas dihormati. Sedangkan aku...? dulu begitu mudahnya menghamburkan rizky yang dikaruniakan Allah. Ya Allah... Aku tambah tergugu.

"Bang, Insya Allah kita masih punya waktu buat minta maaf kepada Pak Umar. Lisna menggenggam tanganku sambil berkata pelan. Aku mengangguk. Walaupun sejak lulus SMA, lalu menjadi mahasiswa, bertemi Islam kemudian berIslam seutuhnya aku selalu menghindari hal-hal yang mengingatkanku pada masa laluku. Tetapi jauh di lubuk hatiku pertemuan dengan Pak Umar selalu aku harapkan. Ya, ini mungkin saatnya aku harus minta maaf padanya, dan menunjukkan kepada Pak Umar bahwa semua nasihat-nasihatnya membekas dalam kehidupanku.

"Kita bisa ke SMA Abang dulu atau bertandang ke rumahnya..." Rumahnya? Aku baru menyadari bahwa aku tak tahu rumah Pak Umar sama sekali. Akhirnya kutanamkan tekad, aku akan pergike bekas SMAku yang telah belasan tahun tak kukunjungi, dan bertemu dengan Pak Umar, sebagai guru. Meminta maaf padanya atas segala kenakalanku, dan bilang kepadanya bahwa aku telah menjadi manusia yang sesungguhnya. Tentu Pak Umar akan merasa bangga, seperti yang beliau ucapkan di bajaj sore tadi.

Namun sayang, ternyata Allah belum memberiku kesempatan untuk bertemu dengan Pak Umar. Kesibukanku di Kantor, dan tugas proyek penelitianku ke Bandung, membuatku sejenak melupakan janjiku untuk menemui Pak Umar.

Sampai kemudian di hari itu. Aku bergegas mangkal bajaj. Mudah-mudahan hari ini aku bisa bertemu Pak Umar, dan bilang padanya bahwa aku adalah bekas muridnya dan meminta maaf atas kekurangajaranku padanya dulu. Karena jika bertandang ke SMAku dulu, aku khawatir aku tak bisa menyisihkan waktu lagi.

Dengan agak berdebar-debar aku menghampiri deretan bajaj. Kuperhatikan diantara supir-supir bajaj, tak ada sosok berwajah bersih diantara mereka. Apakah Pak Umar sedang menarik penumpang? Dengan agak canggung aku ikut masuk pada deretan supir-supir bajaj yang sedang duduk makan. Kupesan segelas es kelapa muda, agar aku punya alasan untuk berlama-lama di situ. Satu jam berlalu. Langit di sebelah barat sudah mulai menjingga, sepertinya Magrib tinggal beberapa menit lagi. Tapi bajaj Pak Umar tak namapak juga.

Sebenarnya aku tak berharap mendapatkan jawaban yang pasti, ketika sedikit iseng aku bertanya pada supir bajaj yang baru datang di sampingku.

"Bapak kenal Pak Umar yang katanya guru SMA tapi juga supir bajaj, Pak...? Supir bajaj itu menatapku,

"Adik bekas muridnya, ya...?" Aku mengangguk...

"Wah, dik, Pak Umar sudah meniggal 3 hari lalu. Karena bajajnya ditabrak truk di persimpangan jalan A......"

Aku tak mendengar kelanjutan omongannya. Hanya satu kata kunci yang ku dengar. Pak Umar telah meninggal dunia, ditabrak truk! Innalillahi wa inna ilaihi raajiun.

Langit sebelah barat atas semakin menjingga. Langkahku terasa gamang. Pak Umar, maafkan saya, Pak.... Penyesalanku membuncah karena aku tak cepat-cepat menemuinya sekali lagi. Sepertinya Allah memberiku pelajaran sekarang, karena aku tak memanfaatkan pertemuanku dengan Pak Umar semasa beliau hidup. Dadaku terasa sakit, dan mataku terasa panas.

Kutengadahkan wajahku, agar air mata yang menggelantung di sudut mataku tidak terjatuh di pipiku. Jingga di langit sebelah barat perlahan berganti gelap. Mungkin sudah lewat Magrib sekarang. Selagi aku punya waktu luang, seperti nasihat Pak Umar sebelas tahu lalu.

Selamat Jalan, Pak Umar! Semoga Allah mengampuni segala kesalahnmu, dan membalas segala kebaikan-kebaikanmu dengan yang terbaik. Dan jangan khawatir Pak Umar, Ilmumu, Nasihatmu, terus mengalir dalam diri murid-muridmu. Dalam diriku, dan semoga dia menjadi amal shalihmu. Dan menjadi gaji akhiratmu yang tiada putus seperti yang engkau bilang padaku di bajaj dulu.

Blok-M, walaupun telah mulai gelap, tapi masih saja ramai.........

Tidak ada komentar:

Posting Komentar